https://jurnal.moriah.ac.id/index.php/rerum/issue/feed RERUM: Journal of Biblical Practice 2025-10-09T04:31:08+00:00 Dr. Sri Mulyani sri.mulyani@sttmoriah.ac.id Open Journal Systems <p><strong>RERUM: Journal of Biblical Practice</strong> (e-ISSN: 2808-1455) is a theological scientific journal with a Biblical Practical perspective which is a scientific forum for multidisciplinary academic journals published by the Institute for Research and Community Service (IRCS) of the Sekolah Tinggi Teologi Moriah together Indonesian Christian Theologian Association.</p> <p>Based on the decision of the Director General of Higher Education, Research, and Technology of the Ministry of Education. Culture, Research, and Technology of the Republic of Indonesia No. 177/E/KPT/2024 about Accreditation Ranking of Scientific Journals Period II of 2024, <strong>Rerum accredited Sinta 4</strong></p> <p><strong>Focus and Scope.</strong> The articles published in RERUM: Journal of Biblical Practice have a focus and scope on Christian religious education theology, pastoral theology, Christian leadership, missions, and church management.</p> <p>The publication of this journal will be carried out in one year as many as two times, namely in April and October.</p> <p> </p> https://jurnal.moriah.ac.id/index.php/rerum/article/view/383 ETIKA PEMERINTAHAN BERBASIS MORALITAS KRISTEN DAN NASIONALISME: IMPLEMENTASI TEOLOGI POLITIK CALVIN DALAM KERANGKA SOEKARNO 2025-09-04T07:06:28+00:00 Timotius Timotius timotius80@yahoo.com <p><em>This study explores the synergy between Christian morality, especially in the political theology of John Calvin, and Soekarno's nationalism in building governmental ethics in Indonesia. Christian morality in Calvin's political thought strongly emphasizes the values of integrity, honesty, accountability, love, and justice—values that are particularly relevant for addressing issues of corruption, abuse of power, and social inequality. Meanwhile, Soekarnoism prioritizes inclusive nationalism, the spirit of mutual cooperation (gotong royong), and national unity to advance the people's welfare. The author employs a qualitative approach through a literature review to examine the possibility of merging these two value systems to establish governance that is ethical, fair, and centered on people. The results show that this synergy can strengthen the principles of justice, public service, sustainable development, and responsible resource management, especially within the framework of Indonesia's pluralism. This analysis highlights the significance of cooperation among religions, cultures, and institutions in fostering a political culture that is healthy, transparent, and fair.. In the Indonesian context, this collaboration includes Christian values according to Calvin, Soekarno's nationally oriented nationalism, as well as Islamic morality which emphasizes trust (responsibility), ‘adl (justice), and ukhuwah (brotherhood). Thus, this study not only connects the ideas of two figures but also integrates them within the framework of national pluralism.</em></p> <p><strong><em> </em></strong></p> <p>Penelitian ini mengeksplorasi sinergi antara moralitas Kristen terkhusus dalam teologi politik John Calvin, dan nasionalisme Soekarno dalam membangun etika pemerintahan di Indonesia. Moralitas Kristen dalam konsep politik Calvin sangat menekankan nilai-nilai integritas, kejujuran, akuntabilitas, kasih, dan keadilan yang relevan untuk menangani masalah korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketimpangan sosial. Sementara itu, Soekarnoisme mengedepankan nasionalisme inklusif, semangat gotong royong, dan kesatuan bangsa untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Penelitian ini menerapkan metode kualitatif, di mana penulis akan meneliti potensi penggabungan kedua kerangka nilai ini untuk menciptakan pengelolaan pemerintahan yang etis, adil, dan berfokus pada kesejahteraan masyarakat. Hasilnya mengindikasikan bahwa kolaborasi ini dapat memperkuat prinsip keadilan, pelayanan publik, pembangunan berkelanjutan, dan manajemen sumber daya yang bertanggung jawab, terutama dalam konteks pluralisme di Indonesia.. Studi ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas agama, budaya, dan institusi untuk membangun budaya politik yang sehat, transparan, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, kolaborasi ini mencakup nilai-nilai Kristiani menurut Calvin, nasionalisme Soekarno yang bercorak kebangsaan, serta moralitas Islam yang menekankan amanah (tanggung jawab), ‘adl (keadilan), dan ukhuwah (persaudaraan). Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya menghubungkan pemikiran dua tokoh, tetapi juga mengintegrasikannya dalam kerangka pluralisme bangsa.</p> 2025-10-09T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2025 Timotius Timotius https://jurnal.moriah.ac.id/index.php/rerum/article/view/392 MERESPONS KETELADANAN KRISTUS SEBAGAI LANDASAN UTAMA KETIKA MENGALAMI PENDERITAAN: KAJIAN TEOLOGIS 1 PETRUS 2:18-25 2025-09-10T07:35:46+00:00 Fa’ahakhododo Halawa faahakhododohalawa2@gmail.com Abad Jaya Zega 86abadjaya@gmail.com <p><em>This research analyzes theologically how Christ's example serves as a guide for believers, as described in 1 Peter 2:18-25, as the main basis for dealing with suffering in the context of the Christian faith. This study aims to understand and analyze the principles of Christ's example in responding to suffering, such as patience, humility, and unconditional love. Peter advises Christians to continue to follow his example as a perfect model so that they remain calm and loving when facing unjust suffering, rather than retaliating or expressing hatred. This study uses a qualitative method with a literature study approach, which is an approach conducted by critically tracing and re-understanding various existing sources about the ministry of the word. The results show that Christ's example in suffering is not only a moral example, but also a profound and practical guide for Christ's followers in facing life's challenges. Through this analysis, it was found that emulating Christ with integrity and faith provides an important model for Christians in facing adversity. Christ's example also emphasizes that it is important to see suffering not merely as a test, but as part of the Christian calling to have faith and love one another. Thus, by following Christ's example, Christians are called to see suffering as an opportunity to grow spiritually and strengthen their faith in the divine, as well as to deepen their relationship with God. Finally, this study confirms that Christ's example provides a solid foundation for responding to suffering in a way that builds faith and strengthens spiritual integrity. Thus, Christians with the right character can not only overcome difficulties, but also witness the love and power of Christ in their journey through life in this world.</em></p> <p><strong><em> </em></strong></p> <p>Penelitian ini menganalisis secara teologis bagaimana teladan Kristus menjadi petunjuk bagi orang percaya, sebagaimana dijelaskan dalam 1 Petrus 2: 18-25, menjadi dasar utama dalam menangani penderitaan dalam konteks iman Kristen. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis prinsip-prinsip teladan Kristus dalam merespons penderitaan, seperti kesabaran, kerendahan hati, dan kasih tanpa syarat. Petrus menasihati umat Kristiani untuk tetap meneladaninya sebagai teladan yang sempurna supaya tetap tenang dan penuh kasih ketika menghadapi penderitaan yang tidak adil, dibanding membalas dendam atau mengungkapkan kebencian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelusuri dan memahami kembali secara kritis berbagai sumber yang ada tentang pelayanan sang firman. Hasil-Nya menunjukkan bahwa keteladanan Kristus dalam penderitaan bukan hanya sekedar teladan moral, namun juga menjadi pedoman yang mendalam dan praktis bagi para pengikut Kristus dalam menghadapi tantangan hidup. Melalui analisis ini, menemukan bahwa meneladani Kristus dengan integritas dan iman memberikan sebuah model penting bagi umat Kristiani untuk menghadapi kesengsaraan. Teladan Kristus juga menekankan bahwa penting untuk melihat penderitaan bukan sekedar ujian, namun sebagai bagian dari panggilan orang Kristen untuk beriman dan saling mengasihi. Maka, dengan mengikuti teladan Kristus, umat Kristiani dipanggil untuk melihat penderitaan sebagai kesempatan untuk bertumbuh secara rohani dan memperkuat iman kepada sang ilahi, serta memperdalam hubungan dengan Tuhan. Akhirnya penelitian ini menegaskan bahwa keteladanan Kristus menyediakan dasar yang solid untuk merespons penderitaan dengan cara yang membangun Iman dan memperkuat integritas rohani. Sehingga umat Kristiani dengan karakter yang benar tidak hanya dapat mengatasi kesulitan, tetapi juga menyaksikan kasih dan kuasa Kristus dalam perjalanan kehidupan di dunia.</p> 2025-10-09T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2025 Fa’ahakhododo Halawa https://jurnal.moriah.ac.id/index.php/rerum/article/view/491 KETEGUHAN IMAN DALAM PENDERITAAN: INTEGRASI AJARAN PAULUS DAN FALSAFAH SABAR NERIMO JAWA 2025-09-04T07:14:38+00:00 Ageng Asih Pamarto pamarto.agengasih@gmail.com <p><em>This study aims to analyze the integration of Apostle Paul's teachings on steadfast faith in suffering and the sabar nerimo philosophy in Javanese culture. A qualitative descriptive method with a literature-based approach was applied, combining the analysis of biblical texts (Romans 5:3–5; Philippians 4:11–13) and Javanese manuscripts (Serat Wedhatama). The results indicate that both Paul’s teachings and Javanese philosophy view suffering as a means of character formation and spiritual development. Paul emphasizes suffering as a path to hope in Christ, while Javanese culture promotes patience and acceptance (nrimo ing pandum) as a form of practical wisdom. Together, these perspectives complement each other in building spiritual resilience and effective coping mechanisms. This article makes an original contribution to interdisciplinary studies in theology and culture, particularly in contextual theology and spiritual psychology, by bridging the teachings of Paul and the Javanese sabar nerimo philosophy, which has been rarely explored. The study is conceptual and literature-based, and has not yet been empirically tested. Future research is recommended to conduct empirical studies with Javanese Christian communities to explore the practical application of Paul’s teachings and sabar nerimo in daily life, thereby enhancing both conceptual validity and real-world relevance</em><em>.</em></p> <p> </p> <p>Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi antara ajaran Rasul Paulus tentang keteguhan iman dalam penderitaan <em>dan</em> konsep <em>sabar nerimo</em> dalam budaya Jawa. Penelitian ini menerapkan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan berbasis studi literatur, menggabungkan analisis teks Alkitab (Roma 5:3-5, Filipi 4:11-13) dan naskah Jawa (Serat Wedhatama). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Paulus maupun filosofi Jawa memandang penderitaan sebagai sarana pembentukan karakter dan spiritualitas. Paulus menekankan penderitaan sebagai jalan menuju pengharapan dalam Kristus, sementara budaya Jawa mengajarkan kesabaran dan penerimaan (<em>nrimo ing pandum</em>) sebagai bentuk kebijaksanaan hidup. Kedua perspektif ini saling melengkapi dalam membangun ketahanan spiritual dan mekanisme koping yang efektif. Artikel ini memberikan <em>kontribusi</em> orisinal dalam kajian lintas teologi dan budaya, khususnya pada bidang teologi kontekstual dan psikologi spiritual, dengan mempertemukan ajaran Paulus dan falsafah Jawa yang sebelumnya belum banyak diteliti. Penelitian ini bersifat konseptual dan berbasis kajian pustaka, sehingga belum diuji secara empiris. Untuk penelitian lanjutan, disarankan studi empiris dengan responden masyarakat Jawa Kristen untuk mengeksplorasi penerapan ajaran Paulus dan <em>sabar nerimo</em> dalam praktik kehidupan sehari-hari, sehingga validitas dan relevansi konseptual dapat diperkuat.</p> 2025-10-09T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2025 Ageng Asih Pamarto https://jurnal.moriah.ac.id/index.php/rerum/article/view/492 DAVID AND BETHSHEBA: ADULTERY OR RAPE? 2025-09-09T06:51:18+00:00 Harold Pardede harold.pardede69@gmail.com Anugrah Saro Iman saroiman5@gmail.com <p><em>Different scholars offer various perspectives on the David and Bathsheba plotline part of 2 Samuel 11. Certain interpretations view it as a romantic tale, while others consider it a narrative of infidelity, meanwhile, some scholars interpret it as an account of David’s crime of sexually assaulting another man’s wife. Through this study, the author aims to clarify whether Bathsheba engaged in adultery with David or was a victim of rape. The research employs a qualitative approach with a descriptive analysis method. The author examines 2 Samuel 11 by conducting exegesis and analyzing the historical context provided within the text. Arguing from the study's results, the author posits Bathsheba as a victim of David's authority, not rape. This narrative urges caution in how we interpret it, as failing to view Bathsheba’s story as one of adultery may lead us to overlook the prevalence of sexual sin among God’s people and foster a tendency to unfairly blame women as the cause of adultery or rape.</em></p> <p><strong><em> </em></strong><em><br /></em>Berbagai sarjana menawarkan perspektif yang berbeda-beda mengenai alur cerita Daud dan Batsyeba dalam 2 Samuel 11. Beberapa tafsir memandangnya sebagai kisah romantis, sementara yang lain menganggapnya sebagai narasi tentang perselingkuhan. Di sisi lain, beberapa sarjana menafsirkannya sebagai catatan tentang kejahatan Daud yang melakukan pelecehan seksual terhadap istri orang lain. Melalui studi ini, penulis bertujuan untuk mengklarifikasi apakah Batsyeba terlibat dalam perselingkuhan dengan Dauda atau menjadi korban pemerkosaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Penulis mengkaji 2 Samuel 11 melalui eksegesis dan menganalisis konteks historis yang terdapat dalam teks. Berdasarkan hasil penelitian, penulis berpendapat bahwa Batsyeba adalah korban dari kekuasaan Daud, bukan pemerkosaan. Narasi ini mendorong kehati-hatian dalam menafsirkannya, karena gagal melihat kisah Batsyeba sebagai kasus perzinahan dapat membuat kita mengabaikan prevalensi dosa seksual di kalangan umat Allah dan memicu kecenderungan untuk menyalahkan perempuan secara tidak adil sebagai penyebab perzinahan atau pemerkosaan.</p> 2025-10-09T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2025 Harold Pardede, Anugrah Saro Iman https://jurnal.moriah.ac.id/index.php/rerum/article/view/501 THE MEANING OF COMMUNAL EATING ACCORDING TO JESUS AND THE THEOLOGICAL-MISSIOLOGICAL IMPLICATIONS FOR MINISTRY IN INDONESIA 2025-09-04T02:56:47+00:00 Ramly Donald Belly Lumintang ramlilu2904@gmail.com <p>Eating together has become a tradition and custom deeply embedded in almost all ethnicities, races, and cultures in Indonesian society. Eating together is typically done during traditional and religious celebrations, and has even become a routine and programmed activity of churches. Eating together aims to foster intimacy, friendship, and family ties, fostering mutual tolerance. Sometimes, this purpose has faded, with eating together becoming simply a shared meal and then being finished. In the Gospels, Jesus also shared a meal with tax collectors and sinners, with the purpose of proclaiming the message of forgiveness of sins and eternal salvation. Jesus shared more than just a meal; it also had theological and missiological significance. The church must return to the principles of sitting down to a meal like Jesus'.</p> 2025-10-09T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2025 Ramly Donald Belly Lumintang https://jurnal.moriah.ac.id/index.php/rerum/article/view/506 TEOLOGI EKUMENIS SEBAGAI WUJUD KASIH KRISTUS DALAM KEHIDUPAN OIKUMENIS 2025-09-18T06:26:56+00:00 Riski Riski halimricky_21667@yahoo.co.id Herman Sjahthi lensatidar@gmail.com Benediktus James Widya Darmaka benediktusdarmakajurnal@gmail.com <p><em>Ecumenical theology is a reflection of faith that affirms Christ's love as the foundation of church unity and ecumenicallife. Christ's love is understood as a unifying force that transcends differences in denomination, doctrine, or tradition, so that diversity is no longer seen as a barrier but as a richness of faith that enriches the body of Christ. Within this framework, ecumenism is not an attempt to erase the church's identity, but rather an effort to affirm the core of the Gospel, which is centered on God's unifying love. Through literature reviews, theologians emphasize the importance of dialogue and collaboration based on openness and honesty. Ecumenical dialogue does not simply bring together differing perspectives, but rather serves as a means of mutually enriching our understanding of faith and broadening our perspectives on God's work. Christ's love serves as a bridge that transcends historical and cultural barriers, enabling the church to see diversity as part of God's plan. Ecumenical life is understood as a call to present God's inclusive, transformative, and practical love. Inclusive love embraces differences, transformative love brings change toward justice and peace, and practical love is embodied in shared service. Thus, ecumenical theology does not stop at discourse, but becomes a concrete practice of Christ's love, proclaiming God's peace to the world.</em></p> <p><strong><em> </em></strong><em><br /></em>Teologi ekumenis merupakan refleksi iman yang menegaskan kasih Kristus sebagai dasar persatuan gereja dan kehidupan oikumenis. Kasih Kristus dipahami sebagai kekuatan pemersatu yang melampaui perbedaan denominasi, doktrin, maupun tradisi, sehingga keberagaman tidak lagi dipandang sebagai penghalang, melainkan sebagai kekayaan iman yang memperkaya tubuh Kristus. Dalam kerangka ini, ekumenisme bukanlah upaya menghapus identitas gereja, melainkan usaha untuk menegaskan inti Injil yang berpusat pada kasih Allah yang menyatukan. Melalui kajian literatur, para teolog menekankan pentingnya dialog dan kerja sama yang dilandasi keterbukaan dan kejujuran. Dialog oikumenis tidak sekadar mempertemukan pandangan yang berbeda, melainkan menjadi sarana saling memperkaya pemahaman iman dan memperluas perspektif tentang karya Allah. Kasih Kristus menjadi jembatan yang mampu menembus sekat historis maupun kultural, sehingga gereja dapat melihat keberagaman sebagai bagian dari rencana Allah. Kehidupan oikumenis dipahami sebagai panggilan untuk menghadirkan kasih Allah yang inklusif, transformatif, dan praksis. Kasih yang inklusif menerima perbedaan, kasih yang transformatif membawa perubahan menuju keadilan dan perdamaian, dan kasih yang praksis diwujudkan dalam pelayanan bersama. Dengan demikian, teologi ekumenis tidak berhenti pada wacana, melainkan menjadi praksis nyata kasih Kristus yang menyatakan damai sejahtera Allah bagi dunia.</p> 2025-10-09T00:00:00+00:00 Copyright (c) 2025 Riski Riski, Herman Sjahthi, Benediktus James Widya Darmaka